Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik – Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial dan Kemasyarakatan
Enam puluh tujuh tahun perjalanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah lintasan sejarah yang sarat makna. Ia bukan sekedar hitungan usia administratif, melainkan rekam jejak pergulatan antara harapan dan kenyataan, antara potensi besar dan tantangan yang terus berubah. Pada fase kedewasaan ini, peringatan Hari Ulang Tahun selayaknya menjadi ruang refleksi yang jujur, bukan sekedar perayaan simbolik.
Tema HUT NTB ke-67, Gerak Cepat NTB Hebat, dapat dibaca sebagai ajakan untuk merespon perubahan dengan sigap sekaligus tepat arah. Kecepatan tanpa kehati-hatian beresiko melahirkan kebijakan rapuh; sebaliknya, kehati-hatian tanpa gerak akan menahan kemajuan. Tantangan NTB hari ini justru terletak pada kemampuan menyeimbangkan keduanya: bergerak cepat, namun tetap berkelanjutan.
Sejak ditetapkan sebagai provinsi pada 1958, melalui Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, sebagai bagian dari dinamika besar pembentukan wilayah Indonesia pascakemerdekaan. NTB tumbuh di atas lanskap alam yang indah sekaligus rentan. Gunung, laut, dan pulau-pulau kecil membentuk identitas geografis yang menjadi sumber penghidupan, pariwisata, dan kebudayaan. Namun pada saat yang sama, NTB berada di wilayah rawan bencana, berada di jalur patahan aktif dan menghadapi dampak perubahan iklim yang kian nyata. Realitas ini menuntut cara pandang pembangunan yang tidak menafikan resiko alam sebagai “harga kemajuan”.
Pengalaman bencana di masa lalu seharusnyalah menjadi pelajaran kolektif bahwa pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan hanya akan menciptakan kerentanan baru. Karena itu, menjaga alam bukanlah agenda pinggiran, melainkan fondasi utama pembangunan. Penataan ruang berbasis mitigasi bencana, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, serta penguatan desa dan komunitas yang tangguh menjadi kebutuhan mendesak agar gerak cepat tidak berujung pada langkah yang keliru.
Namun pembangunan tidak hanya berurusan dengan alam; ia terutama menyangkut manusia. NTB adalah rumah bagi masyarakat yang beragam, dengan modal sosial yang kuat, nilai religius, gotong royong, dan kearifan lokal yang telah lama menopang kehidupan. Tantangan pembangunan manusia masih nyata, mulai dari ketimpangan wilayah, akses layanan dasar, hingga kualitas sumber daya manusia. Di sinilah pembangunan diuji: apakah ia mampu memuliakan manusia, atau sekedar mengejar angka dan target.
Pembangunan yang berkeadilan menuntut kebijakan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan objek. Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat tidak boleh diperlakukan sebagai sektor administratif semata, tetapi sebagai investasi jangka panjang bagi ketahanan sosial. Ukuran keberhasilan tidak berhenti pada pertumbuhan ekonomi, melainkan pada meningkatnya kualitas hidup, berkurangnya ketimpangan, dan tumbuhnya kapasitas masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan.
Dalam konteks ini, arah kepemimpinan dan kebijakan daerah perlu dipahami secara institusional, bukan personal. Kepemimpinan pemerintahan saat ini – di bawah Gubernur Iqbal dan Wakil Gubernur Dinda, mencerminkan upaya menata pembangunan dalam kerangka keseimbangan antara percepatan dan keberlanjutan, sebagaimana dirumuskan dalam RPJMD NTB 2025–2030. Arah ini menegaskan bahwa gerak cepat tidak dimaknai sebagai tindakan tergesa, melainkan sebagai respon adaptif, berbasis data, dan sadar resiko.
Pendekatan tersebut penting, sebab tantangan terbesar pembangunan daerah ke depan bukan hanya keterbatasan anggaran atau sumber daya, tetapi potensi kegagalan kebijakan ketika keputusan diambil tanpa pemahaman mendalam terhadap konteks sosial dan ekologis. Karena itu, tata kelola pemerintahan dituntut untuk semakin kolaboratif yang menyatukan peran negara, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan komunitas lokal dalam satu irama pembangunan.
Visi NTB Makmur Mendunia perlu dibaca secara substantif. Kemakmuran tidak boleh dibangun dengan mengorbankan lingkungan atau meninggalkan kelompok rentan. Sementara “mendunia” tidak berarti kehilangan identitas lokal, melainkan kemampuan NTB untuk tampil percaya diri di tengah dunia dengan kekuatan budaya, alam, dan manusianya. Inilah makna kehebatan yang berakar, bukan yang tercerabut.
Refleksi HUT NTB ke-67 pada akhirnya mengantar kita pada satu kesadaran penting: masa depan tidak diwariskan secara kebetulan, tetapi dibentuk oleh pilihan-pilihan hari ini. Gerak cepat harus diarahkan untuk memperkuat fondasi, bukan sekedar mempercepat hasil. Keseimbangan antara alam, manusia, dan pembangunan adalah prasyarat agar NTB tidak hanya tumbuh, tetapi juga bertahan dan bermartabat.
Dalam kebijaksanaan hidup masyarakat NTB, manusia tidak pernah berdiri sendiri. Orang Sasak mengenal “paer begibung: hidup bersama dalam kesadaran berbagi dan saling menjaga”. Masyarakat Samawa memegang nilai “sabalong samalewa: keseimbangan antara kemajuan dan kepatutan”. Sementara kearifan Mbojo menegaskan “dou ma ka dou: menjadi manusia seutuhnya yang tahu batas, tahu arah, dan tahu tanggung jawab”. Nilai-nilai ini berkelindan dengan ajaran agama yang hidup kuat di NTB, bahwa alam adalah titipan, kekuasaan adalah amanah, dan pembangunan adalah ibadah sosial. Di sanalah Gerak Cepat NTB Hebat menemukan makna terdalamnya: bekerja sigap tanpa kehilangan kebijaksanaan, melangkah maju tanpa memutus akar, serta membangun hari ini dengan kesadaran bahwa masa depan adalah hak generasi yang belum bersuara.(*)







