
Oleh: Dr. Agus, M.Si
Universitas Islam Negeri Mataram
Dalam paradigma governance yang sudah mapan di studi administrasi publik, tata kelola kebencanaan dimaknai sebagai cara negara, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan mengelola risiko bencana secara terencana, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Konsepsi ini dianut dalam kebijakan kebencanaan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang pada pokoknya menyebutkan kebijakan yang bersifat antisipatif terhadap timbulnya bencana termasuk proses pencegahan, tanggap darurat dan rehabilitasi.
Permasalahannya, meskipun Indonesia sudah menganut kebijakan kebencanaan, namun fenomena bencana alam terus meningkat. Beberapa hari terakhir ini publik dikejutkan dengan fenomena bencana alam Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat yang menelan korban lebih dari 1.000 orang. Fenomena di tiga provinsi ini bisa saja muncul pada daerah lain, khususnya daerah-daerah yang sudah mulai membabat hutan dengan berbagai alasan, seperti penanaman sawit atau penanaman jagung sebagaimana fenomena di Pulau Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.\
Tulisan singkat ini bermasud memberikan gambaran kepada pembaca yang budiman tentang bagaimana tata kelola kebencanaan dari hulu hingga hilir. Harapannya tidak lain adalah memberikan referensi atau ide kepada para pengambil kebijakan untuk secara sungguh-sungguh memikirkan tata kelola kebencanaan di daerahnya.
Pertama-tama penulis mengajukan proposisi bahwa tata kelola kebencanaan telah mengalami perubahan paradigma. Misalnya saja pada zaman dahulu fokus kebencanaan pada tanggap darurat dan pemulihan. Paradigma erbaru fokus pada pengurangan risiko bencana (PRB) melalui tiga aspek: pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Selain itu dalam tata kelola kebencanaan berlaku dogma bahwa bencana adalah risiko yang bisa dikelola bukan takdir.
Jika bencana merupakan risiko yang bisa dikelola, maka perlu dipetakan siklus tata kelolanya. Argumentasinya, fenomena bencana tidak bisa diprediksi, maka desain kebijakan kebencanaan perlu berbasis pada siklus tahapan berkelanjutan. Siklus pertama yakni pra-bencana. Tahapan ini merupakan kerja-kerja sebelum bencana datang menerjang yang meliputi: pencegahan; mitigasi; kesiap siagaan; dan penilaian risiko bencana.
Siklus kedua yaitu saat bencana terjadi. Hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah pada siklus ini yaitu menetapkan tanggap darurat dengan melakukan evakuasi korban, pencarian korban, dan pertolongan korban hingga pemenuhan kebutuhan dasar. Oleh karena tahapan ini sangat kompleks, maka perlu dilakukan dengan kolaborasi pemerintah bersama pemangku kepentingan lainnya, seperti dunia usaha, masyarakat, media massa, dan perguruan tinggi.
Siklus ketiga, pasca bencana. Siklus ini seringkali diabaikan, padahal jika seluruh siklus tersebut dipatuhi maka dapat mencegah peristiwan kebencanaan. Pada siklus ini yang harus dilakukan yaitu rehabilitasi adalah pemulihan layanan dasar dan rekonstruksi seperti membangun fasilitas publik dan lainnya. Demikian tahapan proses dari tata kelola lingkungan, dimana aeluruh pelaksanaan dalam siklus tersebut hanya akan berhasil apabila berpedoman pada prinsip; cepat dan tepat; prioritas; koordinasi dan keterpaduan; berdaya guna dan berhasil guna; transparan dan akuntabel; kemitraan antara pemerintah, swasta, masyarakat; non-diskriminatif.
Bertumpu pada penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa bencana tidak bisa dihindari sepenuhnya, tetapi dampaknya dapat dikurangi secara signifikan melalui perencanaan, koordinasi lintas sektor, pemberdayaan masyarakat, dan penegakan regulasi yang berbasis risiko. Itulah konsep dasar tata kelola kebencanaan yang saat ini menjadi acuan utama dan secara global. Jika ingin penjelasan lebih detail untuk salah satu aspek (misal: sistem klaster). (*)

