
Oleh: Dr. Agus, M.Si
Peneliti PusDeK UIN Mataram
Saya sangat tertarik pada pidato Presiden Prabowo Subianto yang kira-kira menyatakan “jangan pejabat datang ke daerah bencana hanya untuk foto-foto untuk dianggap hadir, kita tidak mau ada wisata bencana”. Apa yang disampaikan oleh Presiden tersebut mengandung pesan bahwa kehadiran pejabat di lokasi bencana tidak boleh terkesan sebagai pencitraan yang tidak substantif, sebab jika hal tersebut yang dilakukan para pejabat publik, maka kunjungan pejabat publik justru bisa melukai perasaan korban. Seyogyanya, kunjungan pejabat publik ke lokasi bencana haruslah memberi manfaat seperti menyelesaikan masalah logistik, infrastruktur, kesehatan, dan lain-lain. Bersamaan dengan hal tersebut, tidak boleh pejabat public sekedar melakukan ABS atau asal bapak senang.
Presiden juga ingin menyampaikan pesan kepada jajarannya bahwa kunjungan pejabat publik ke lokasi bencana harus fokus pada empati dan aksi nyata. Jika merujuk pada ilmu komunikasi publik, maka komunikasi dalam kebencanaan yang baik oleh seluruh pejabat publik harus menunjukkan empati sejati, koordinasi terpadu, dan prioritas pada korban.
Apa yang dimaksud komunikasi berbasis simpati dalam konteks kebencanaan tidak lain adalah menyampaikan informasi dengan empati, transparansi, dan fokus pada kebutuhan korban. Sangat berbeda dari komunikasi berbasis branding yang hanya menonjolkan “prestasi” pemerintah, seperti jumlah bantuan yang dikirim, tanpa mendengar keluhan masyarakat.
Para pejabat publik yang datang ke lokasi bencana apalagi kehadiran mereka dibiayai oleh anggaran publik, harus lebih banyak mendengar penderitaan korban daripada sekadar klaim kinerja. Apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan sekedar mencicipi makanan bersama korban di lokasi penampungan, atau mengusap wajah anak kecil sambil memeluknya merupakan contoh komunikasi simpati dalam kebencanaan.
Selanjutnya pesan Presiden Prabowo Subianto tentang “tidak mau ada wisata bencana” tidak hanya sekedar pengarahan, tetapi juga mengandung peringatan keras seorang Kepala Negara kepada para pembantunya. Pesan ini diungkapkan oleh sang Presiden dengan sangat tegas sebagai pertanda ada kemarahan sang Presiden terhadap cara pembantunya melakukan komunikasi publik. Kemarahan sang Presiden terhadap kurang bagusnya komunikasi pejabat publik sebenarnya sudah sering dilakukan, bahkan sempat terjadi pemecatan jubir Presiden karena persoalan komunikasi publik. Tentu saja kasus-kasus seperti ini tidak perlu terulang kembali, oleh karenanya seluruh pejabat publik harus memperbaiki cara melakukan komunikasi publik.(*)
