Pemetaan Modus Korupsi Pemerintahan Daerah di Indonesia
Oleh: Dr. Agus, M.Si
Peneliti PusDeK UIN Mataram
Korupsi di pemerintahan daerah telah menjadi “industri” sejak era otonomi daerah yang dimulai tahun 1999. KPK mencatat hingga akhir tahun ini lebih dari 1.400 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangka korupsi. Angka itu belum termasuk ratusan ketua dan anggota DPRD, sekretaris daerah, kepala dinas, camat, hingga kepala desa.
Korupsi pemerintahan daerah jauh lebih berbahaya daripada korupsi di pusat karena langsung menyentuh hajat hidup rakyat seperti sekolah rusak, puskesmas tanpa obat, jalan berlubang, bansos fiktif, dan izin tambang ilegal yang merusak lingkungan hingga membuat bencana alam seperti banjir dan lain sebagainya. Tulisan ini mencoba memetakan modus korupsi di pemerintah daerah tidak lain dengan maksud agar seluruh penyelenggara negara mewaspadainya dan menjauhkannya.
Berdasarkan sejumlah penelitian yang berhasil dihimpun, ditemukan modus perilaku korupsi pada pemerintahan daearah sangat kompleks. Modus paling banyak adalah mark-up dan rekayasa pengadaan barang atau jasa. Cara yang jamak dilakukan pada modus ini meliputi spesifikasi teknis dibuat mengarah ke vender tertentu, harga perkiraan sendiri (HPS) sengaja dilebihkan, melakukan pelelangan secara formalitas dengan pemenang sudah ditentukan sejak awal.
Modus berikutnya adalah suap perizinan khususnya izin tambang reklamasi dan ijin bangunan. Terhadap modus ini pelaku korupsi biasanya membayar fee berdasarkan nilai investasi kepada kepala daerah atau kepala dinas, merekayasa AMDAL hingga melanggar tata ruang. Tentu saja hal ini sangat berbahaya bagi munculnya banjir bahkan konflik sosial.
Akhir-akhir ini kerap kali juga muncul modus korupsi dana desa, terutama sejak pemerintah menggelontorkan dana desa dengan jumlah yang fantastis, sementara kapasitas kelembagaan dan SDM pemerintahan desa dalam tata kelola keuangan masih terbatas. Praktik korupsi ini biasanya melalui mark-up proyek padat karya seperti rabat jalan, irigasi, talud, gorong-gorong, dan sebagainya. Pencairan realisasi anggara dilakukan secara bertahap dan dipotong untuk jatah kepala desa, dan proyek fiktif.
Pemotongan anggaran untuk belanja ASN baik PNS, P3K dan honorer dengan berbagai dalih, seperti dana sosial, sedekah, dan lain-lain. Bahkan tidak hanya bagi ASN biasa, korupsi juga terjadi pada “jual-beli jabatan” khususnya jabatan eselon I dan II. Fenomena ini bahkan bukan lagi rahasia umum dan sudah lama diperbincangkan dikalangan ASN daerah.
Korupusi lainnya yaitu korupsi dana hibah dan bantuan sosial. Yang menarik adalah dana hibah tidak hanya diberikan oleh pemerintah daerah kepada organisasi masyarakat saja, tetapi pada sesama pemerintah seperti dana hibah pemerintah daerah kepada aparat negara lainnya. Korupsi pada modus dana hibah ini biasanya sangat senyap, rapi dan tidak tersentuh aparat penegak hukum. Akhir-akhir ini kita juga digegerkan dengan korupsi modus manipuasi APBD apakah dengan istilah perubahan anggaran maupun dana siluman. Fenomena ini marak dibanyak daerah dan sangat merusak rasa keadilan rakyat.
Tentu ada puluhan modus lain dari korupsi yang bisa dilihat atau dialami pembaca. Modus-modus di atas hanyalah merupakan pemantik diskusi dan pemberi alarm pada seluruh penyelenggara negara untuk berhati-hati. Penulis berpindah pada pertanyaan berikutnya yaitu apa yang menyebabkan maraknya korupsi pada pemerintahan daerah?
Jika ditelisik dari beberapa pemberitaan, hasil penelitian atau survei oleh lembaga-lembaga yang memiliki konsen pada korupsi, penyebab korupsi pemerintahan daerah cukup variatif. Misalnya ditemukan informasi bahwa mahalnya biaya politik dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPRD merupakan akar masalah yang pokok. ICW termasuk lembaga yang banyak memiliki data tentang hal tersebut.
Namun beberapa bukti mengarah pada lemahnya sistem pengawasan oleh inspektorat daerah termasuk lemahnya pengawasan anggaran oleh DPRD. Bahkan dalam beberapa kasus oknum DPRD menjadi “mitra” korupsi bukan menjadi pengawas. Penyebab lain yang terdeteksi adalah kuatnya budaya balas budi, patronase tim sukses dan partai politik pengusung, apalagi tim sukses masuk menjadi bagian dari pengelolaan pembangunan. Pada saat yang bersamaan transparansi dan digitalisasi anggaran masih setengah hati menyebabkan mudahnya praktik manipulasi.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, dapat disebutkan korupsi di pemerintahan daerah bukan lagi masalah moral individu, melainkan kegagalan sistem yang dirancang sejak awal untuk memudahkan korupsi. Selama biaya politik tetap mahal, pengawasan lemah, hukuman ringan, transparansi dan digitalisasi setengah hati, maka setiap tahun akan lahir ratusan kepala daerah, pejabat birokrasi dan anggota DPRD akan terperangkap korupsi.
Perubahan tidak akan datang dari para kepala daerah itu sendiri, karena mereka adalah penerima manfaat terbesar dari sistem yang ada. Perubahan hanya akan terjadi jika ada tekanan kuat dari tiga kekuatan sekaligus yakni masyarakat sipil yang kritis dan; terorganisir media yang tidak takut mengungkap kasus; dan pemerintah pusat yang punya nyali melakukan reformasi radikal.(*)

